Islamic State (IS) atau Negara Islam sejak 1 Ramadhan 1435 telah mendeklarasikan diri sebagai sebuah Khilafah Islamiyah. Yakni khilafah dalam makna sistem pemerintahan sebuah negara, bukan sekedar nama organisasi atau keamiran jihad. Bahkan dalam pidato yang dibacakan oleh Juru Bicara ISIS Syaikh Abu Muhammad Al-Adnani itu, semua jamaah atau kelompok dakwah Islam tidak sah dan wajib berbaiat kepada Syaikh Al-Baghdadi.
Sejatinya, sejak masa Daulah Islam Irak, ISIS telah mengklaim sebagai sebuah negara yang sah. Syaikh Abu Humam Bakar bin Abdul Aziz Al-Atsari dalam bukunya Madd Al-Ayaadi bi Bai’ah Al-Baghdadi,[1] menguatkan legalitas syar’i Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai Amir Daulah Islam Irak (ISI). Setelah menampilkan berbagai argumentasi mengenai urgensi, faktor-faktor pendorong berdirinya Daulah Islam Irak, serta tinjauan syar’i berdirinya dan realitas sejarah berdirinya sebuah negara, maka disimpulkan bahwa Daulah Islam Irak sah secara syar’i sebagai sistem negara, bukan organisasi.
Syaikh mengulas kelayakan Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai amir, sahnya baiat sebagian orang dan sebagian ahlul hilli wal aqdi, sahnya disebut daulah meskipun belum mendapatkan wilayah yang aman (tamkin), menjawab syubhat imam majhul, dan semua hal yang menguatkan bahwa Syaikh Al-Baghdadi adalah amir sebuah daulah Islam memimpin jamaah muslimin, bukan amir sebuah imarah (kepemimpinan Islam) dalam arti organisasi atau tanzim jihad.
Di lapangan dan media, hal tersebut dikuatkan oleh tentara dan ulama pendukung ISIS bahwa baiat Syaikh Al-Baghdadi adalah baiat pemimpin tertinggi dalam Islam, sehingga siapa yang menolak wajib diperangi. Dalil-dalil yang dipakai adalah dalil-dalil imamah u’dzma dan konsekuensi-konsekuensi yang diterapkan pun berdasarkan pemahaman ini.
Contohnya hadits, “Barang siapa yang mati, sedangkan ia tidak memiliki baiat di pundaknya, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR Muslim) dan juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang Khalifah, kemudian dia ingin memecah-belah kesatuan jamaah kalian, maka bunuhlah ia.” (HR. Muslim)
Kenyataannya, kita menemukan banyak keamiran atau jamaah yang menamakan diri sebagai khilafah. Misalnya Imarah Islam Kaukasus, Imarah Islam Afghanistan, dan bahkan dalam skala lokal kita menemukan NII, Jamaatul Muslimin Lampung, dan juga Jamaah Muslimin Cileungsi Bogor Indonesia. Bila klaim dikorelasikan dengan fakta, manakah yang sejatinya baru sebuah organisasi, keamiran lokal, keamiran jihad, atau daulah Islam sesungguhnya? Untuk mendudukkan masalah ini, kita akan melihatnya dari pengertian daulah dan khilafah dahulu.
Daulah, Imarah, dan Khilafah
Secara bahasa kalimat daulah oleh para ulama diartikan: Sesuatu yang kadang dihasilkan dari tangan ini atau dari tangan lain, atau balasan dalam hal kekayaan atau peperangan.[2]
Penggunaan kata daulah digunakan sebagai kata istilah, belum begitu merata dipakai oleh para fuqaha zaman dulu, hanya beberapa kitab yang sudah memakainya seperti kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah karya Al-Mawardi. Namun oleh para fuqaha zaman dulu, pembahasan daulah Islamiyah dalam kitab fiqh-fiqh turats sudah dimasukan ke dalam sub tema kepemimpinan negara (al-ahkam al-imamiyah) dengan menegaskan bahwa daulah adalah representasi dari sosok kepemimpinan tinggi, atau istilah lainnya khalifah.
Imamah secara bahasa bisa diartikan setiap orang yang harus diikuti baik dia itu adalah seorang pemimpin atau tidak. Dalam kamus Lisanul Arab juga dikatakan bahwa yang dimaksud dengan imamah dan imam itu adalah orang yang diikuti oleh suatu kaum, baik mereka berada di jalan yang lurus maupun yang sesat.
Sementara yang dimaksud dengan imamah secara istilah, ulama memberikan definisi secara beragam, akan tetapi semuanya itu bermuara pada satu tujuan. Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan imamah adalah posisi khilafah nubuwwah –pengganti nabi–untuk menjaga agama serta mengatur dunia dengan agama tersebut.[3]
Oleh para fuqaha tata negara daulah Islam didefinisikan sebagai:
مجموعة الإيلات تجتمع لتحقيق السيادة على أقاليم معينة, لها حدودها, ومستوطنوها, فيكون الحاكم أو الخاليفة, أو أمير المؤمنين, على رأس هذه السلطات.
“Gabungan kelompok masyarakat yang menguasai kawasan tertentu, mempunyai wilayah dan anggota masyarakat tertentu, dan hakim atau khalifah atau amirul mukminin yang bertindak sebagai pucuk pimpinan kekuasaan ini.”[4]
Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa daulah atau negara terdiri dari tiga unsur, yaitu wilayah, rakyat dan pemerintahan.
Dalam mengkaji ketiga unsur pokok sebuah negara tersebut, para fuqaha ahli tata negara telah menjabarkannya di dalam tema hukum darul Islam. Dr. Wahbah Zuhaili berkata, “Hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kota Mekkah menuju kota Madinah yang merupakan titik awal berdirinya sebuah daulah Islamiyah oleh kalangan fuqaha di masa awal-awal Islam belum digunakan sebagai sebuah terminologi umum, melainkan mengungkapkannya dengan istilah Darul Islam, karena kalimat daulah belum banyak digunakan ulama saat itu. Di sisi lain terdapat korelasi makna yang bersifat talazumantara istilah kalimat daulah dan Darul Islam.[5]
Para fuqaha menyatakan bahwa tugas khilafah adalah menegakkan din Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya, serta menegakkan politik Daulah di perbatasan Islam.
Dalam aspek ini, Al-Mawardi menjelaskan bahwa, “Apabila imam (kepala negara) telah menjalankan semua tugas-tugasnya dalam memenuhi hak-hak rakyatnya dan menegakkan hak-hak Allah Ta’ala di antara mereka, maka wajib bagi rakyatnya memenuhi dua hak sang imam, yaitu hak menaatinya dan hak membantu tugasnya.”[6]
Bagaimana dengan Daulah Islam [Irak dan Syam]?
Pihak Daulah menyebut ISIS adalah daulah Islam dan memakai dalil-dalil baiat kubra untuk menguatkannya. Syaikh Abu Bakar Al-Baghadi juga dijuluki Amirul Mukminin. Namun, pihak lain menyebutnya dengan kata jamaah atau tanzim Daulah. Bahkan Syaikh Aiman Al-Zawahiri juga menyebut demikian.
Banyak hal yang menguatkan bahwa ISIS adalah organisasi. Namun sebelumnya, kita perlu memahami perbedaan antara tanzim dan daulah, terutama konsekuensi baiatnya. Ini adalah hal mendasar yang membedakan antara keduanya dan konsekuensi-konsekuensi di baliknya. Tabel berikut merupakan beberapa konsekuensi baiat keduanya.
Pemahaman dasar tersebut menjadi penting untuk melihat apa yang harus dilakukan Daulah Islam ketika ada pihak yang keluar maupun menolak berbaiat, dalam kapasitas Daulah sebagai tanzim maupun daulah Islam dalam makna kepemimpinan tertinggi Islam. Demikian pula menjadi pandangan setiap umat Islam dalam masalah ini.
Kembali ke persoalan sebelumnya, ISIS tanzim ataukah Daulah? Syaikh Athiyatullah Al-Libbi ketika ditanya tentang Daulah Islam Irak (ISI): Mengapa namanya Daulah, bukan Imarah, apa bedanya? Beliau menjawab:
“Nama “Daulah Islam Irak” adalah julukan bagi entitas politik dan sosial bagi mujahidin dan kaum muslimin ahli sunnah di wilayah ini sebagai bagian dari negeri-negeri Islam lainnya. Ini hendaknya tidak hilang dari ingatan kita.”
Beliau menjelaskan bahwa pemilihan nama dan julukan itu sifatnya ijtihad. Makna sesungguhnya berhubungan erat dengan fakta dan kenyataan yang ada.
Contohnya, julukan amirul mukminin dalam sebuah nama daulah. Maksudnya adalah pemimpin dan pemegang otoritas politik “Daulah”. Julukan ini sifatnya ijtihadi, yaitu nama pemimpin dalam daulah ini. Tetapi, maksudnya bukanlah pemimpin tertinggi (imam a’dzam) yang diangkat berdasarkan baiat umum dari kaum muslimin atau oleh Ahlul Hilli wal Aqdi, atau melakukan kudeta atas suatu negeri Islam sampai akhirnya disebut amirul mukminin dalam arti pemimpin tertinggi atau khalifah.
Meskipun penamaan dan julukan seperti itu dibolehkan sesuai konteks ijtihad tadi, Syaikh Athiyatullah Al-Libbi melihat bahwa memilih nama lain lebih utama dan lebih baik. Termasuk sebutan Amirul Mukminin bagi Mulla Muhammad Umar sebelumnya.
Menurutnya, nama Amir saja tanpa tambahan mukminin lebih baik sebab kesannya lebih jelas. Yakni dialah pemimpin suatu Daulah atau Imarah, dalam makna bukan daulah khilafah. Mengapa bukan amirul mukminin? Sebab, masih menurut Syaikh, ini bisa menimbulkan ilusi bahwa ia adalah imam tertinggi (khalifah). “Itu bisa membuat kerancuan bagi saudara-saudara kita, mungkin akan mengira bahwa itu khalifah! Sebab julukan amirul mukminin ini sudah tertanam dalam benak kaum muslimin sejak Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘anhu. Bahwa julukan amirul mukminin ini adalah untuk imam tertinggi dan khalifah.”
Hal itu, menurut beliau, lebih menambah kerancuan dengan kondisinya (Abu Bakar Al-Baghdadi)—semoga Allah menjaganya— adalah dari suku Quraisy[7]dan keturunan Husain. Ilusinya semakin kuat![8]
Syaikh Athiyatullah termasuk ulama yang menyetujui proyek Daulah Islam Irak, dan tampak jelas bahwa beliau juga mendoakan kebaikan bagi Syaikh Al-Baghdadi. Namun Syaikh memahami bahwa Daulah Islam Irak adalah imarah Islam yang tidak berbeda dengan makna tanzim.
Baiat Al-Baghdadi kepada Al-Zawahiri
Banyak kalangan mempertanyakan hubungan antara Daulah Islam Irak dan Syam dan Al-Qaidah dan baiat antara pemimpinnya. Bukan kalangan awam, bahkan para ulama seperti Dr. Thariq Abdul Halim, Dr. Hani As-Sibai dan lainnya juga mempertanyakannya.
Pertanyaan Dr. Thariq dan Dr. Hani As-Sibai tidak berbeda, yaitu bahwa urusan baiat Syaikh Al-Baghdadi kepada Syaikh Al-Zawahiri merupakan baiat yang belum ada kepastian, baik sifat maupun hakikatnya.
Padahal jawaban tersebut sangat penting. Untuk mendudukkan perkara sebenarnya. Sekurang-kurangnya pertanyaan-pertanyaan berikut akan terjawab.
1. Penolakan Al-Jaulani atas deklarasi Daulah Islam Irak dan Syam adalah penolakan yang salah bila alasannya hanyalah karena Al-Jaulani tidak diajak bermusyawarah lebih dahulu, seperti disebutkan dalam pidatonya.
2. Al-Jaulani telah berdosa karena telah melepaskan baiat dari Al-Baghadi dengan alasan yang tidak dibenarkan.
3. Semua arahan Syaikh Aiman, termasuk perintah membekukan ISIS tidak mengikat sebab hubungannya hanyalah kerja sama dan saling menasihati sesama tanzim, bukan perintah.
4. Dan masih banyak lagi.
Ini adalah persoalan besar. Namun, saat banyak pihak mempertanyakan hakikat hubungan tersebut, Abu Mu’adz Asy-Syar’i mengomentari pertanyaan Dr. Hani As-Sibai dan menyatakan bahwa esensinya bukan pada masalah baiat. Tetapi ada persoalan lain yang tidak diperdebatkan lagi yang menjadi akar masalah antara JN dan ISIS, yaitu penyimpangan manhaj Al-Qaidah, Al-Qaidah kesusupan akidah sururiyah dan lima poin lainnya tanpa menyebutkan bukti apa pun.[9]
Dr. Thariq Abdul Halim menilai Abu Mu’adz telah menelanjangi Dr. Aiman dan Dr. Hani Sibai sebagai tokoh yang dalam sejarah panjang telah mengabdikan diri dalam pertarungan dengan thaghut dengan lisan dan perbuatan. “Nama, rupa, sejarah dan pengalaman keduanya telah dikenal, sedangkan lainnya tidaklah kita kenal rupa, sejarah, dan tulisannya kecuali penambahan kata “Asy-Syar’i” yang tidak pernah kita kenal sebelumnya kecuali setelah muncul perkataan-perkataan mereka di justpaste.it sejak pengumumam “Daulah Islam” beberapa bulan lalu,” ungkapnya.
Dr.Thariq mengapresiasi upaya para pendukung Daulah dalam menjawab setiap persoalan. Namun “sangat disayangkan, tindakan ini dinilai sebagian orang telah menjadi ciri umum Daulah, yaitu menghantam siapa dan apa saja yang sifatnya menyelisihi Daulah. Dan itu berimbas kepada para pendukung mereka di twitter dan facebook. Mereka seolah-olah telah memenangkan al-haq secara keseluruhan dan tidak terbantahkan lagi; bebas dari kesalahan secara keseluruhan. Merekalah yang benar dalam setiap hal yang mengingatkan mereka.”
Ya, permasalahan baiat antara Syaikh Al-Zawahiri dan Syaikh al-Baghdadi adalah jantung dari masalah ini. Itulah sebabnya jawaban dari kedua pihak sangat ditunggu-tunggu.
Sebenarnya, Dr. Thariq telah memiliki persepsi bahwa Al-Baghdadi berbaiat kepada Al-Zawahiri. Ia memiliki kesaksian dari orang yang dikenal sebagai orang adil dan kesaksiannya tidak patut didustakan. Di sisi lain, berdasarkan upaya penyelesaian masalah antara ISIS dan JN, Dr. Thariq Abdul Halim melihat bahwa Abu Bakar Al-Baghdadi sebenarnya menerima Syaikh Aiman menjadi hakim bagi dirinya dan Al-Jaulani.[10]
Hanya saja, ketika keputusannya tidak sesuai dengan keinginan Daulah, Al-Baghdadi tidak melaksanakannya. Ini menguatkan bahwa Al-Zawahiri adalah amir Al-Baghdadi. Karena itulah, beliau menginginkan pihak Daulah memberikan penjelasan tegas dalam masalah ini.
Pertanyaan-pertanyaan para ulama tersebut akhirnya dijawab oleh Syaikh Aiman dan terjawab sudah. Surat Syaikh Aiman menjawab pertanyaan-pertanyaan Dr. Thariq Abdul Halim, Dr. Hani As-Siba’i, Dr. Iyadh Qunaibi, Dr. Abdullah Al-Muhaisini, Syaikh Muhammad Al-Hashmi dan Dr. Sami Al-Uraidi.[11]
“Adapun pertanyaan kalian tentang jamaah Daulah Islamiyah di Irak dan Syam (ISIS), sebelum dan sesudah pengumuman ekspansi serta persoalan baiat, maka saya telah menjelaskan dalam tulisan saya berjudul: Kesaksian untuk menghentikan pertumpahan darah mujahidin di Suriah. Yaitu bahwa Daulah Islam Irak (ISIS) adalah cabang jamaah Al-Qaidah. Amir dan tentara ISIS memiliki kewajiban baiat di pundak mereka terhadap jamaah Al-Qaidah. Amir mereka adalah Usamah bin Ladin—semoga Allah mengasihinya—kemudian saya, yang lemah ini.”
Salah satu buktinya ialah surat Syaikh Al-Baghdadi kepada Syaikh Aiman pada 7 Dzul Hijjah 1433. Di dalamnya, Syaikh Al-Baghdadi mengatakan:
“Syaikh kami yang diberkati, kami ingin menjelaskan dan mengumumkan kepadamu bahwa kami adalah bagian darimu. Kami adalah dari dan untukmu. Kami berhutang kepada Allah bahwa engkau adalah pemegang otoritas urusan kami. Engkau memiliki hak ketaatan (sam’u wa tha’ah) selama kami hidup. Dan bahwa nasihat dan peringatanmu untuk kami adalah hak kami untuk menerimanya darimu. Perintahmu mengikat bagi kami. Akan tetapi, beberapa masalah adakalanya memerlukan beberapa penjelasan untuk menangani kenyataan yang terjadi di lapangan kami. Kami berharap engkau lapang dada untuk mendengar sudut pandang kami. Setelah itu, engkau berhak mengeluarkan perintah karena kami ini hanyalah anak-anak panah di busurmu.”
Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi bersaksi kepada Allah atas kebenaran semua pernyataan Syaikh Aiman Al-Zawahiri tentang hubungan ISIS dan Al-Qaidah[12] dan ini juga diakui oleh Juru Bicara ISIS Syaikh Al-Adnani dalam pidatonya yang berjudul “Maaf wahai Amir Al-Qaidah”, “Sesungguhnya semua kesaksianmu yang engkau sebutkan itu adalah benar”.[13]
Di antara kesaksian Syaikh Aiman saat ISIS masih di Irak ialah:
“Syaikh Abu Hamzah rahimahullah mengirimkan surat kepada kepemimpinan pusat (Al-Qaidah) yang isinya membenarkan pembentukan Daulah. Ia menegaskan di dalamnya bahwa loyalitas Daulah adalah kepada jamaah Al-Qaidah dan bahwa saudara-saudara di dewan syuro telah mengambil janji kepada Syaikh Asy-Syahid—seperti yang kami sangka—Abu Umar Al-Baghdadi bahwa amirnya adalah Syaikh Usamah bin Ladin rahimahullah. Dan bahwa Daulah berada di bawah jamaah Al-Qaidah. Akan tetapi, dewan syuro memandang saudara-saudara harus diberitahu itu, namun tidak diberitahukan secara luas dengan beberapa pertimbangan politik, yang mereka lihat di Irak saat itu.”
“Delegasi dewan syuro Daulah Islam Irak menanggapinya pada awal Dzulqa’dah 1431, sebagai berikut: … seluruh ikhwah di sini, yang dipimpin oleh Syaikh Abu Bakar, semoga Allah melindunginya dan Dewan Syura sepakat bahwa tidak ada keberatan bila imarah (daulah) ini bersifat sementara. Dan kalian boleh mengirimkan seseorang kepada kami bila kalian melihat keputusan sebagai bagian dari perwujudan maslahat untuk menyerahkan imarah ini. Kami tidak keberatan dan kami semua di sini adalah prajuritnya (Syaikh Usamah) yang di pundak mereka ada beban mendengar dan taat. Kewajiban ini adalah hasil kesepakatan dari majelis syuro dan Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi, semoga Allah melindungi mereka.”[14]
Hal yang sama juga dilakukan saat kepemimpinan Al-Qaidah dipercayakan kepada Syaikh Aiman, sepeninggal Syaikh Usamah bin Ladin. Syaikh Al-Baghdadi meminta kepastian apakah harus memperbarui baiat secara terang-terangan atau cukup secara rahasia seperti sebelumnya. Disebutkan juga dalam surat Dr. Aiman, menukil dari surat yang dikirimkan kepada beliau dari Daulah:
“… dan ia (Syaikh Al-Baghdadi) menanyakan posisinya dari sudut pandang kalian (organisasi Al-Qaidah), ketika ada pengumuman amir baru di organisasi (Al-Qaidah). Apakah Daulah harus memperbarui baiatnya secara terang-terangan atau secara rahasia saja, seperti yang dilakukan sebelumnya. Ini penting sebab saudara-saudara di sini adalah anak panah di busurmu.”[15]
Semua proses tersebut dilakukan secara rahasia antara dua pihak. Maka wajar bila sekelas tokoh senior dalam dunia jihad pun tidak mengetahui hubungan sebenarnya antara Al-Baghdadi dan Al-Zawahiri. Dan dengan demikian semua pertanyaan terjawablah sudah. Penolakan Al-Jaulani dan pelepasan baiatnya menjadi sah.
Dan dengan demikian, Daulah adalah bagian dari Al-Qaidah. Sejak awal berdirinya adalah bagian dari Al-Qaidah pusat. Pembubaran tanzim Al-Qaidah fi bilad Rafidzin oleh Syaikh AIman Al-Zawahiri dan diumumkan bergabung dengan Daulah adalah langkah yang benar. Ini bukan berarti tidak adanya baiat kepada Al-Qaidah pusat. Sebab sifatnya diintegrasikan, bukan independen.
Pernyataan-pernyataan Syaikh Al-Zawahiri dan Syaikh Usamah dalam memuji Daulah adalah wujud apresiasi kepemimpinan pusat kepada organisasi cabang. Azh-Zhawahiri pernah menyatakan, “… Dan pada hari ini (2007) Daulah Islam Irak telah didirikan di Irak. Para mujahidin merayakan (berdirinya) di jalan-jalan Irak, masyarakat juga ikut berdemonstrasi untuk mendukungnya di kota-kota dan desa-desa Irak, dukungannya diumumkan, dan baiat terhadapnya (Daulah Islam Irak) dilakukan di masjid-masjid Baghdad.”[16]
Maka tidak salah bila Syaikh Aiman pernah menyatakan, “Saya ingin menjelaskan bahwa pada hari ini tidak ada kelompok yang bernama Al-Qaidah di Irak. Sebagai gantinya Al-Qaidah yang berada di Irak menyatukan diri dengan Daulah Islamiyah Irak – semoga Allah menjaganya – bersama jamaah-jamaah jihad lainnya. Daulah Islam Iraq adalah Imarah syar’iyah yang berdiri di atas manhaj syar’i yang benar dan didirikan melalui Syura (musyawarah) dan membai’at sebagian besar Mujahidin dan suku-suku di Irak.”
Adalah sikap yang tepat sebagai pemimpin untuk menengahi dan mendudukkan masalahnya ketika bagian dari organisasinya mendapatkan tuduhan. Daulah Islam Irak dituduh menjadi penyebab berbagai perang saudara dan dituding telah membunuh orang-orang sipil dan menumpahkan darah. Syaikh Aiman pada saat itu menjawab, “Ini merupakan suatu tuduhan, dan tuduhan memerlukan bukti. Sebagaimana halnya Daulah Islamiyah Irak mengumumkan kesiapannya untuk menanggapi setiap keluhan…. Saya tidak memiliki kewenangan untuk berlepas diri maupun membela berbagai bentuk urusan sebelum saya mendengar dari dua sisi urusan tersebut.”[17]
Prospek Daulah Islam Akhir Zaman
Bagaimanapun Daulah Islam Irak adalah tanzim yang disetujui dan dipuji oleh para ulama jihad dan proyek Daulah Islam yang digadang-gadang menjadi cikal-bakal khilafah ala manhaj nubuwwah. Ini adalah harapan para pemimpin pergerakan jihad, terlebih lagi para pemimpin Daulah. Syaikh Al-Adnani misalnya dalam pernyataan berjudul “La yadzurrukum illa adza” mengatakan, ‘Proyek kami adalah proyek umat. Tujuannya adalah menegakkan daulah Islam ala manhaj nubuwwah, yang tidak mengenal batas (teritorial), tidak membedakan Arab dan non-Arab, tidak pula timur dan barat, kecuali ketakwaan dan loyalitasnya yang tulus kepada Allah.”[18]
Dalam dalam salah satu pesannya, Azh-Zhawahiri berkata, “… Dan pada hari ini (2007) Daulah Islam Irak telah didirikan di Irak. Para mujahidin merayakan (berdirinya) di jalan-jalan Irak, masyarakat juga ikut berdemonstrasi untuk mendukungnya di kota-kota dan desa-desa Irak, dukungannya diumumkan, dan baiat terhadapnya (Daulah Islam Irak) dilakukan di masjid-masjid Baghdad.”[19]
Pernyataan Syaikh Aiman Azh-Zhawahiri menarik untuk dicermati, “Sungguh, Al-Qaidah ingin agar umat Islam memiliki seorang khalifah yang mereka pilih sendiri dengan kerelaan, keputusan bulat, atau dengan kesepakatan mayoritas mereka. Dan jika seandainya umat Islam memungkinkan untuk menjalankan hukum Allah di manapun wilayah tersebut sebelum tegaknya khilafah, maka orang yang diridai (direstui) oleh umat Islam di wilayah tersebut sebagai imam (pemimpin) yang memenuhi syarat-syarat syar’i dan akan memimpin umat dengan Al-Quran dan As-Sunnah, maka kami merupakan orang pertama yang akan merestuinya. Karena kami bukan menginginkan kekuasaan, namun hanya menginginkan (tegaknya) hukum Islam.”[20]
Apakah daulah atau imarah kecil tidak bisa menjadi Daulah Islam? Apakah baiat amal atau baiat jihad dalam taraf tertentu tidak bisa menjadi baiat kubra?
Jawabannya ialah bisa. Sebab sebuah daulah, bila berkaca kepada perjuangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan Daulah di Madinah, merupakan proses yang tidak lepas dari kekurangan dan kesabaran. Ya, meskipun kondisi Daulah Islam, menurut beberapa analisis, tidak layak dianalogikan dengan Madinah.
Sebagian karya dan tulisan ulama yang menguatkan baiat Syaikh Al-Baghdadi telah kami baca dan teliti dan telah dibantah pula oleh banyak pihak. Ada yang kuat di satu bagian namun ada juga kelemahan di bagian lain. Namun satu hal yang harus menjadi catatan adalah pengakuan terhadap ISIS dan baiat Syaikh Al-Baghdadi. Ya, pengakuan kaum muslimin.
Misalnya baiat kepada imam yang tidak dikenal (majhul), bantahannya kemungkinan lebih kuat, namun yang dibantah juga tidak bisa ditolak secara total. Majhul bagi sebagian orang, belum tentu majhul bagi sebagian lain. Demikian pula persoalan lainnya. Namun perdebatan itu tidak berlaku untuk pengakuan. Artinya, sebuah daulah maupun baiat tidak akan berlaku tanpa pengakuan kaum muslimin. Apakah seluruh manusia? Tidak, tetapi umat Islam secara umum atau sebuah proses yang dengan itu kepemimpinan dan kekuasaan bisa berjalan. Ibnu Khaldun dalam Mukadimah-nya mengatakan, “Yaitu baiat dari ahlul hilli wal aqdi yang dengan mereka tercapailah kekuatan dan pembelaan.”
Imam Al-Ghazali berkata, ” Seandainya yang membaiat Abu BakarRadhiyallahu ‘anhu hanya Umar Radhiyallahu ‘anhu., sementara umat Islam secara keseluruhan tidak mau melakukannya, atau mereka terpecah belah dan tidak bisa dibedakan mana kelompok mayoritas dan mana kelompok minoritas, niscaya tidak ada pengukuhan imamah.”[21]
Ketika kubu Muawiyah dan Ali tidak mau memberikan kesepakatan untuk menaati salah satu pihak, maka Muawiyah menulis–sesuai riwayat Ziyad bin Abdullah dari Abu Ishaq– surat kepada Ali, “Bila engkau bersedia, ambillah Irak, dan Syam untuk saya. Dengan demikian, berhentilah ancaman pedang terhadap umat ini dan pertumpahan darah di antara umat Islam. Maka Ali menyetujuinya. Keduanya rela dengan kesepakatan tersebut. Muawiyah tinggal di Syam dengan pasukannya dan demikian pula Ali di Irak.
Menyontoh Nabi dalam Membentuk Daulah
Nabi saw telah sukses membangun kepercayaan umat pada awal pembentukan sistem pemerintahan Islam. Manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membentuk kedaulatan Madinah telah mewariskan strategi yang sangat baik. Langkah awal setelah menyatukan barisan internal dengan membangun masjid dan mempersaudarakan antara muhajirin dan Anshar ialah menjalin perjanjian dengan Yahudi dan suku-suku di sekitarnya untuk menciptakan keamanan di Madinah.
Allah bahkan memberikan kelonggaran yang jelas bagi pembela kebenaran,“Dan bila mereka cenderung kepada perdamaian, maka cenderunglah kepada perdamaian itu. Dan bertakwakallah kepada Allah.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan surat kepada orang-orang kafir, mengajak mereka untuk bertobat dan masuk Islam. Nabi juga menerima hadiah dari mereka, dan juga meminta bantuan.
Maka tidaklah salah ketika Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi berpesan untuk amal jihad di Suriah:
- Kami ingatkan mereka akan urgensi memperhatikansiyasah syar’iyyahyang ditempuh Nabi Saw., khususnya pada awal-awal berdirinya negara dan sebelum terbentuknya kekuatan kaum muslimin di Madinah. Beliau memelihara persekutuan-persekutuan yang diadakan. Beliau mengadakan perjanjian-perjanjian bahkan dengan orang-orang Yahudi. Beliau tidak membatalkannya sampai negara Islam menguat dan mereka sendiri yang melanggar. Demikian juga, beliau tidak bersegera mengadakan bentrok dengan orang-orang munafik padahal beliau mengalami gangguan dari mereka. Beliau membiarkan mereka dan menunda sampai terbentuknya kekuatan kaum muslimin. Beliau bersikap memaafkan dan berpaling dari jenis munafik yang lain agar orang-orang tidak berbincang-bincang (menyebar isu) bahwa Muhammad membunuh para shahabatnya sendiri. Kami juga mengingatkan mereka akan langkah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menempuh sunnah-sunnah dan sebab-sebab kauni. Kondisi tidak berdaya, sedikitnya persenjataan, dan lemahnya kekuatan kaum muslimin menjadi pertimbangan bagi beliau. Padahal beliau adalah tokoh orang-orang yang bertawakkal, penyabar dan orang-orang yang yakin.
- Beliau juga memperhatikan kondisi para sahabat, yang notabene baru saja meninggalkan masa jahiliyyah dan Islam belum mengakar di hati banyak dari mereka. Itulah sebagian pertimbangan-pertimbangan yang diperhatikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, meski mayoritas mereka melebur pada kategori muhajirin dan anshar, namun beliau tidak lupa bahwa hati para shahabat itu masih mengunggulkan tokoh-tokoh mereka. Para shahabat masih memandang para pembesar mereka, serta berkonsultasi kepada para pemikir mereka dalam menghadapi suatu peristiwa. Sirah Nabawi memuat hal itu dan mencantumkannya. Karena itu, siapa saja yang ingin membakar fase-fase ini dan tergesa-gesa dengan cara mengabaikan pertimbangan-pertimbangan ini serta melompatinya, maka berarti ia tergesa-gesa sebelum waktunya. Ia tidak memperhatikan siyasah nabawiyyah. Ia akan menuai akibat berupa bercabangnya area pertempuaran dan terbukanya banyak front di satu waktu. Hal ini bukanlah termasuk siasat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Karena itu, dalam jihad di Suriah, kami ingin agar orang yang muncul pada jajaran pimpinannya dan tampak pada tokoh-tokohnya adalah saudara-saudara kami ahli Tauhid yang notabene adalah penduduk negeri itu. Kami melihat ada kemaslahatan dalam pengambilan kebijakan tersebut. Ini pula yang kami nasehatkan kepada saudara-saudara kami mujahidin di berbagai medan tempur. Kami tidak suka jika hal tersebut diabaikan dengan alasan bahwa ini mengikat jihad dengan pembagian-pembagian jahiliyyah Sykes Picot. Sebab, kami tidak mengikatnya dengan itu sama sekali, tapi kami mengikatnya dengan kitab Allah yang memperhatikan hal itu dalam pengutusan para nabi. Sehingga, memperhatikan hal itu pada selain mereka lebih utama. Demikian juga kami mengikatnya dengan siasah nabawiyyah yang memperhatikan hal itu pula dan tidak mengabaikannya di banyak pertempuran.”[22]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar